Di Bumi, langit terang pada siang hari karena molekul-molekul udara memantulkan sinar matahari seperti milyaran cermin mungil. Namun di Bulan, tidak ada atmosfir, jadi langit gelap dan bintang-bintang tampak, bahkan pada siang hari. Begitu juga di ruang angkasa itu sendiri yang sangat kosong, dengan terlalu sedikit molekul untuk memantulkan kembali cahaya pada kita. Jadi bahkan dekat Matahari yang menyala, ruang angkasa akan tetap hitam.
Meski demikian, kehitaman ruang angkasa melibatkan teka-teki yang rumit, yang telah diperdebatkan oleh para ilmuan selama beratus-ratus tahun. Mengapa tidak semua bintang di alam semesta kita bersama-sama menghasilkan cahaya yang menyilaukan? Mengapa langit tetap gelap pada malam hari?
Thomas Diggers, seorang astronom memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini pada tahun 1500-an. Diggers percaya bahwa alam semesta ini tidak terbatas, bahwa ruang angkasa tak berujung itu, dan terdapat jumlah bintang yang tak terbatas.
Jika ruang angkasa dipenuhi dengan begitu banyak bintang, pikirnya, seharusnya ada bintang ke mana pun kita menoleh. Dipenuhi dengan matahari-matahari yang jauh, langit malam seharusnya membutakan kita dengan cahaya yang menyilaukan. Tetapi kenyataannya tidak, dan Diggers tidak pernah memecahkan teka-teki itu.
Wilhelm Olbers, seorang astronom abad 19, juga memikirkan masalah itu selama bertahun-tahun, dan pertanyaan mengapa langit malam gelap kemudian dikenal sebagai Paradoks Olbers.
Olbers mengusulkan beberapa pemecahan, tetapi memutuskan bahwa jawabannya adalah debu. Mungkin kita tidak dapat melihat cahaya dari bintang-bintang yang sangat jauh, katanya, karena debu, di angkasa menyerapnya. Itu akan berarti bahwa jumlah bintang tidak terbatas ada, hanya saja tertutup oleh debu.
Tetapi setelah kematian Olbers, para ilmuan menghitung bahwa sinar-sinar bintang dari semua matahari itu seharusnya cukup untuk memanaskan setiap debu, sehingga juga berpijar. Jadi langit malam seharusnya diterangi oleh debu bersinar. Dan persoalan kembali ke awal, Paradoks.
Jadi para ilmuan mencoba teori-teori lain. Cahaya yang jauh lebih redup dari pada cahaya yang dekat, kata mereka. Jadi, bintang-bintang yang sangat jauh memang tidak bisa terlihat. Namun , jika jumlah bintang tidak terbatas, cahaya akan dijumlahkan, dan langit tetap saja seharusnya terang.
Namun yang jelas, kegelapanlah yang menguasai malam. Ada yang salah dengan teori-teori itu. Tetapi apa? Diggers, Olbers dan lainnyamemperkirakan ada jumlah bintang yang tidak terbatas di jagad raya yang besarnya juga tidak terbatas. Mereka salah.
Astronom Edward Harisson dari universitas Massachusets di Amherst, AS, Menulis buku berjudul Kegelapan di Malam Hari : Teka-teki Alam Semesta. Ia berkata bahwa memang tidak cukup banyak bintang untuk menutupi angkasa dengan cahaya. Langit malam tampak tidak terang, karena bintang-bintang dan alam semesta tidak membentang tanpa akhir.
Dengan teleskop paling juat, kini kita hamper bisa melihat di mana bintang-bintang “berakhir.” Cahaya dapat membutuhkan waktu jutaan tahun untuk menempuh perjalanan ke tempat kita dari bintang-bintang yang jauh. Jadi, ketika kita melihat angkasa, kita melihat ke waktu lampau. Teleskop terbaik memungkinkan kita melihat cahaya yang memulai perjalanannya ke arah kita sekitar 10 milyar tahun yang lalu.
Alam semesta baru berumur 15 milyar tahun. Semakin baik teleskop kita nantinya, semakin jauh ke masa lalu kita dapat melihat. Edgar Allen Poe, yang menulis puisi-puisi dan kisah-kisah yang mendirikan bulu roma seperti The Raven (Burung Gagak) dan The Telltale Heart (Hati Yang Membuka Rahasia), terusik oleh ide-ide itu. Tahun 1848, Poe menerbitkan Eureka (sebuah puisi Prosa) : A prose Poem. Di kegelapan angkasa, tulisnya, kita melihat kehampaan yang ada sebelum kelahiran bintang-bintang.
Menurut Harrison, puisi Poe pada dasarnya benar. “Melalui ruang-ruang kosong di antara bintang-bintang,” tulisnya, “kita melihat kembali ke awal mula alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar